­
­

PERJALANAN PENDIDIKAN NASIONAL

By Aisyah Nur Rahmah Febriani - Jumat, Oktober 06, 2023


        Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (kultural nasional) dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan (maatschappelijk), yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.

        Pengajaran pengetahuan sebagian dari pendidikan, yang terutama dipergunakan untuk mendidik pikiran untuk memajukan kecerdasan batin, namun juga untuk melancarkan hidup pada umumnya. Sebenarnya,  pendidikan pikiran ini dibangun setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan selebar-lebarnya, agar anak-anak kelak dapat membangun peri kehidupannya lahir dan batin dengan sebaik-baiknya.

Mari sekarang kita meninjau secara singkat berturut-turut tentang Politik Pendidikan Kolonial zaman V.O.C serta rumusan dalil-dalil mengenai Pendidikan dan Pendidikan Nasional, serta Kebudayaan.

A.   Politik Pendidikan Kolonial di Zaman Voc dan Hindia Belanda

Pada zaman beralihnya V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie) menjadi pemerintah “Hindia Belanda”, maka sebenarnya sekali-kali tidak ada perubahan sikap dan tindakan terhadap segala urusan tanah air kita. Pada hakekatnya pemerintah HB (Hindia Belanda) merupakan konsolidasi dari segala apa yang tadinya dilakukan oleh VOC tersebut. Baru sesudah nampak adanya kebangunan nasional pada permulaan abad ke-20, bersama waktu dengan mulai tumbuhnya aliran “kolonial modern”, yang disebut ethische koers atau ethische politiek di Nederland, barulah nampak adanya perubahan dalam sikap pemerintah kolonial. Sayang hanya mengenai beberapa hal; antara lain yang bertali dengan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat, hal mana kini akan kami jelaskan lebih lanjut.

Seperti diketahui maka dalam zaman OIC (Oost Indische Compagnie) bangsa Belanda menganggap tanah air kita semata-mata sebagai objek perdagangan. Mencari dan mendapatkan keuntungan materiil yang sebesar-besarnya itulah maksud dan tujuan dari segala usahanya dalam segala lapangan. Tidak lebih dan tidak kurang. Pendidikan dan pengajaran diserahkan sama sekali kepada para pendeta Kristen. Kemudian ada instruksi yang menegaskan, bahwa kepada pihak rakyat hendaknya diberi pengajaran membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi hanya seperlunya saja dan melulu untuk mendidik orang-orang pembantu dalam beberapa usahanya. Jadi semata-mata guna memperbesar keuntungan perusahaan-perusahaannya sendiri.

Pada waktu itu ada beberapa bupati mendirikan “sekolah-sekolah kabupaten”, tetapi hanya untuk mendidik calon-calon pegawai. Kemudian lahir, Reglement voor het Inlands onderwijs; lalu didirikan sekolah guru di Sala, yang kemudian pindah ke Magelang, lalu ke Bandung (1866). Dengan berangsur-angsur dapat didirikan “sekolah-sekolah bumiputera”, yang hanya mempunyai 3 kelas, sedang gurunya seorang dari Kweekschool, dan lain-lainnya (pembantu) berasal dari “sekolah bumiputera” itu juga, sesudah mendapatkan didikan tambahan.

B.   Zaman Etik dan Kebangunan Nasional

Pada hal pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat pemeliharaan tumbuhnya benih-benih kebudayaan. Juga sekolah-sekolah yang didirikan oleh bangsa kita sendiri (sesudah menginjak ke dalam zaman “Kebangunan Nasional”) tidak dapat melepaskan diri dari belenggu intelektualisme, individualisme, materialisme dan kolonialisme tadi. Sungguhpun cita-cita Raden Ajeng Kartini (1900) sudah mulai mengandung jiwa nasional dan cita-cita Dokter Wahidin Sudirohusodo (1908) sudah membayangkan aliran kultural namun organisasi teknik pendidikan dan pengajaran tetap tak berubah.

C.   Zaman Bangkitnya Jiwa Merdeka

Baru pada tahun 1920 timbullah cita-cita baru, yang menghendaki perubahan radikal dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Cita-cita baru tadi seakan-akan merupakan gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Idam-idaman kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa, itulah pokok sistem pendidikan dan pengajaran, yang pada tahun 1922 dapat tercipta oleh “Tamansiswa” di Yogyakarta. Bahwa aliran Tamansiswa itu sebenarnya sudah terkandung dalam jiwa rakyat di seluruh tanah air kita, adalah terbukti dengan berdirinya perguruan-perguruan Tamansiswa di seluruh kepulauan Indonesia: di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku. Juga sekolah-sekolah yang berdasarkan “keagamaan” (Islam, Kristen, Katolik), asalkan berani berdiri sebagai sekolah partikelir yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, di samping dasar-dasar keagamaannya masing-masing, memasukan juga dasar dan semangat revolusioner.

Maka, berawal dari pendidikan yang didapat dengan baik dan benar sesuai kultur dan jiwa Indonesia akan menjadikan bangsa Indonesia memiliki kebudayaan. Kebudayaan yang memiliki makna Buah Budi Manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai-bagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Adapun dampak sebuah bangsa dan negara memiliki kebudayaaan yang harus dilestarikan, yakni sebagai berikut:

1.   Sebagai buah perjuangan manusia yang berada di dalam satu alam dan satu zaman, maka kebudayaan itu selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan mewujudkan sifat atau watak, yakni: kepribadian bangsa.

2.   Tiap-tiap kebudayaan menunjukan indah dan tingginya akhlak kemanusiaan pada hidupnya masing-masing bangsa yang memilikinya, seperti dalam hal keluhuran dan kehalusan hidup manusia sebagai ukuran.

3.   Tiap-tiap kebudayaan sebagai buah kemenangan manusia terhadap segala kekuatan alam dan zaman, selalu memudahkan hidup, memberi alat-alat atau bantuan baru untuk meneruskan kemajuan hidup, dan memfaedahkan dan mempertinggi hidup.

Insert video: Perjalanan Pendidikan Nasional


  • Share:

You Might Also Like

0 Komentar

Berkomentarlah dengan sopan dan santun