PERJALANAN PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (kultural nasional)
dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan (maatschappelijk), yang dapat
mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan
pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di
seluruh dunia.
Pengajaran pengetahuan sebagian dari
pendidikan, yang terutama dipergunakan untuk mendidik pikiran untuk memajukan
kecerdasan batin, namun juga untuk melancarkan hidup pada umumnya. Sebenarnya, pendidikan pikiran ini dibangun
setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan selebar-lebarnya, agar anak-anak kelak
dapat membangun peri kehidupannya lahir dan batin dengan sebaik-baiknya.
Mari
sekarang kita meninjau secara singkat berturut-turut tentang Politik Pendidikan
Kolonial zaman V.O.C serta rumusan dalil-dalil mengenai Pendidikan dan
Pendidikan Nasional, serta Kebudayaan.
A.
Politik
Pendidikan Kolonial di Zaman Voc dan Hindia Belanda
Pada zaman beralihnya V.O.C (Vereenigde
Oostindische Compagnie) menjadi pemerintah “Hindia Belanda”, maka sebenarnya
sekali-kali tidak ada perubahan sikap dan tindakan terhadap segala urusan tanah
air kita. Pada hakekatnya pemerintah HB (Hindia Belanda) merupakan konsolidasi
dari segala apa yang tadinya dilakukan oleh VOC tersebut. Baru sesudah nampak adanya
kebangunan nasional pada permulaan abad ke-20, bersama waktu dengan mulai
tumbuhnya aliran “kolonial modern”, yang disebut ethische koers atau ethische
politiek di Nederland, barulah nampak adanya perubahan dalam sikap pemerintah
kolonial. Sayang hanya mengenai beberapa hal; antara lain yang bertali dengan
pendidikan dan pengajaran bagi rakyat, hal mana kini akan kami jelaskan lebih
lanjut.
Seperti diketahui maka dalam zaman OIC
(Oost Indische Compagnie) bangsa Belanda menganggap tanah air kita semata-mata
sebagai objek perdagangan. Mencari dan mendapatkan keuntungan materiil yang
sebesar-besarnya itulah maksud dan tujuan dari segala usahanya dalam segala
lapangan. Tidak lebih dan tidak kurang. Pendidikan dan pengajaran diserahkan
sama sekali kepada para pendeta Kristen. Kemudian ada instruksi yang
menegaskan, bahwa kepada pihak rakyat hendaknya diberi pengajaran membaca,
menulis dan berhitung, akan tetapi hanya seperlunya saja dan melulu untuk
mendidik orang-orang pembantu dalam beberapa usahanya. Jadi semata-mata guna
memperbesar keuntungan perusahaan-perusahaannya sendiri.
Pada waktu itu ada beberapa bupati
mendirikan “sekolah-sekolah kabupaten”, tetapi hanya untuk mendidik calon-calon
pegawai. Kemudian lahir, Reglement voor het Inlands onderwijs; lalu didirikan
sekolah guru di Sala, yang kemudian pindah ke Magelang, lalu ke Bandung (1866).
Dengan berangsur-angsur dapat didirikan “sekolah-sekolah bumiputera”, yang
hanya mempunyai 3 kelas, sedang gurunya seorang dari Kweekschool, dan lain-lainnya
(pembantu) berasal dari “sekolah bumiputera” itu juga, sesudah mendapatkan
didikan tambahan.
B.
Zaman Etik dan Kebangunan Nasional
Pada
hal pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat pemeliharaan
tumbuhnya benih-benih kebudayaan. Juga sekolah-sekolah yang didirikan oleh
bangsa kita sendiri (sesudah menginjak ke dalam zaman “Kebangunan Nasional”)
tidak dapat melepaskan diri dari belenggu intelektualisme, individualisme,
materialisme dan kolonialisme tadi. Sungguhpun cita-cita Raden Ajeng Kartini
(1900) sudah mulai mengandung jiwa nasional dan cita-cita Dokter Wahidin
Sudirohusodo (1908) sudah membayangkan aliran kultural namun organisasi teknik
pendidikan dan pengajaran tetap tak berubah.
C.
Zaman Bangkitnya Jiwa Merdeka
Baru
pada tahun 1920 timbullah cita-cita baru, yang menghendaki perubahan radikal
dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Cita-cita baru tadi seakan-akan
merupakan gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Idam-idaman
kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan kemerdekaan dan kebebasan
kebudayaan bangsa, itulah pokok sistem pendidikan dan pengajaran, yang pada
tahun 1922 dapat tercipta oleh “Tamansiswa” di Yogyakarta. Bahwa aliran
Tamansiswa itu sebenarnya sudah terkandung dalam jiwa rakyat di seluruh tanah
air kita, adalah terbukti dengan berdirinya perguruan-perguruan Tamansiswa di
seluruh kepulauan Indonesia: di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil
dan Maluku. Juga sekolah-sekolah yang berdasarkan “keagamaan” (Islam, Kristen,
Katolik), asalkan berani berdiri sebagai sekolah partikelir yang tidak
mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, di samping dasar-dasar
keagamaannya masing-masing, memasukan juga dasar dan semangat revolusioner.
Maka, berawal dari pendidikan yang didapat
dengan baik dan benar sesuai kultur dan jiwa Indonesia akan menjadikan bangsa
Indonesia memiliki kebudayaan. Kebudayaan yang memiliki makna Buah
Budi Manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
yang kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam perjuangan mana
terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai-bagai rintangan dan kesukaran
di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Adapun
dampak sebuah bangsa dan negara memiliki kebudayaaan yang harus dilestarikan,
yakni sebagai berikut:
1.
Sebagai buah perjuangan manusia yang berada
di dalam satu alam dan satu zaman, maka kebudayaan itu selalu bersifat kebangsaan
(nasional) dan mewujudkan sifat atau watak, yakni: kepribadian bangsa.
2.
Tiap-tiap kebudayaan menunjukan indah dan
tingginya akhlak kemanusiaan pada hidupnya masing-masing bangsa yang memilikinya,
seperti dalam hal keluhuran dan kehalusan hidup manusia sebagai ukuran.
3.
Tiap-tiap kebudayaan sebagai buah kemenangan
manusia terhadap segala kekuatan alam dan zaman, selalu memudahkan hidup, memberi
alat-alat atau bantuan baru untuk meneruskan kemajuan hidup, dan memfaedahkan
dan mempertinggi hidup.
Insert video:
0 Komentar
Berkomentarlah dengan sopan dan santun